Sejarah terbentuknya lembaga perkreditan rakyat atau yang dikenal dengan BPR dimulai pada masa penjajahan Belanda
pada abad ke-19 dengan dibentuknya Lumbung Desa, Bank Desa, Bank Tani,
dan Bank Dagang Desa, dengan tujuan membantu para petani, pegawai, dan
buruh untuk melepaskan diri dari jerat pelepas uang (rentenir) yang
memberikan kredit dengan bunga tinggi.
Setelah kemerdekaan Republik Indonesia, didirikan beberapa jenis lembaga
keuangan kecil dan lembaga keuangan di pedesaan seperti Bank Pasar, Bank
Karya Produksi Desa (BKPD), dan mulai awal 1970an, Lembaga Dana Kredit
Pedesaan (LDKP) oleh Pemerintah Daerah.
Pada tahun 1988, Pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Oktober 1988 (PAKTO 1988) melalui Keputusan Presiden RI No.38 yang menjadi momentum awal pendirian BPR-BPR baru. Kebijakan tersebut memberikan kejelasan mengenai keberadaan dan kegiatan usaha “Bank Perkreditan Rakyat” atau BPR. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang No.7 tentang Perbankan tahun 1992 (UU No.7/1992 tentang Perbankan), BPR diberikan landasan hukum yang jelas sebagai salah satu jenis bank selain Bank Umum.
Pada tahun 1988, Pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Oktober 1988 (PAKTO 1988) melalui Keputusan Presiden RI No.38 yang menjadi momentum awal pendirian BPR-BPR baru. Kebijakan tersebut memberikan kejelasan mengenai keberadaan dan kegiatan usaha “Bank Perkreditan Rakyat” atau BPR. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang No.7 tentang Perbankan tahun 1992 (UU No.7/1992 tentang Perbankan), BPR diberikan landasan hukum yang jelas sebagai salah satu jenis bank selain Bank Umum.
Sesuai UU No.7/1992 tentang Perbankan, Lembaga Keuangan Bukan Bank
yang telah memperoleh izin usaha dari Menteri Keuangan dapat
menyesuaikan kegiatan usahanya sebagai bank. Selain itu, dinyatakan juga
bahwa lembaga-lembaga keuangan kecil seperti Bank Desa, Lumbung Desa,
Bank Pasar, Bank Pegawai, LPN, LPD, BKD, BKK, KURK, LPK, BKPD, dan
lembaga-lembaga lainnya yang dipersamakan dengan itu dapat diberikan
status sebagai BPR dengan memenuhi persyaratan dan tata cara yang
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah (PP).
Selanjutnya PP No.71/1992
memberikan jangka waktu sampai dengan 31 Oktober 1997 bagi
lembaga-lembaga keuangan tersebut untuk memenuhi persyaratan menjadi
BPR. Sampai dengan batas waktu yang ditetapkan, tidak seluruh lembaga
keuangan tersebut dapat dikukuhkan sebagai BPR karena tidak dapat
memenuhi persyaratan yang ditetapkan.
BPR yang didirikan sesudah PAKTO 1988 maupun Lembaga Keuangan yang dikukuhkan menjadi BPR sesuai dengan PP No.71/1992,
tunduk pada ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang-undang
Perbankan dan peraturanperaturan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia
sebagai otoritas pengawas bank. Khusus Badan Kredit Desa (BKD), meskipun
lembaga tersebut sesuai UU No.7/1992 tentang Perbankan, diberikan
status sebagai BPR, namun karena organisasi dan manajemennya relatif
sederhana, lingkup usahanya sangat kecil, serta operasionalnya tidak
setiap hari, maka pengaturan dan pengawasan terhadap BKD pun tidak dapat
disamakan dengan BPR.
Dengan mempertimbangkan karakteristik yang spesifik, jumlah dan
sebarannya serta secara historis sebelum PAKTO 1988 pengawasan BKD
dibawah kewenangan BRI maka pengawasan BKD dilakukan oleh BRI untuk dan
atas nama Bank Indonesia.